ERROR
404 (Request Not Found)
today : | at : | safemode : ON
./ beranda ./ facebook ./ twitter ./exit /
name author permission com modified label

#RamaSinta dalam Dongeng enterdie enterdie 0 Friday, June 07, 2013

Filename #RamaSinta dalam Dongeng
Permission DienarRobusta
Author enterdie
Date and Time Friday, June 07, 2013
Label
Action
Dalam rasa hening batinku ini, aku duduk mematung menatap patung Rama Shinta di taman itu. Elok nian patung epos Ramayana ini. Romansa cinta Shinta pada sang Rama. Salahkah jika Tuhan menakdirkan aku mencinta padamu? Mengulang kesetiaan cinta yang terlukis dalam kisah Ramayana.

Di taman inilah kau pernah bisikan bait-bait asmara, saat rintik hujan menyiram tumbuhan berdaun jarum. Ya, pada deretan daun cemara ini, kita berlari mencari teduh, kini kau pergi dariku, meninggalkanku dalam kesendirian. Apa aku harus berteriak untuk memanggilmu kembali? Apa aku harus menjerit untuk merenggut jasadmu dalam kubur?, dan apa aku harus mengiba agar kau datang dalam mimpi malam nanti?. Tidak! Aku tak akan bisa melakukannya. Aku hanya bisa melelehkan bulir air mata ini sambil disaksikan cemara-cemara taman ini. Malang! Itulah peranku sekarang di hamparan bumi ini. Pilu! Itulah perasaanku di tinggal pergi sosokmu. Merana! Itulah jiwaku tanpa jiwamu di sini. Cacing-cacing tanah itu pasti dengan rakus telah meleburkan jasadmu, sayangku. Di sini jasadku membatu, seolah menambah satu karya seni patung di taman ini. Tidak! Aku tak akan bisa membatu di sini, meskipun begitu inginnya jiwa ini berada di sini membayangkan percintaan kita. Masa lalu dalam bisu mulut ini, kau ada menemaniku. Tapi kini aku berada dalam kebisuan cinta. Membisu jiwa ini saat tahu kau pergi dariku.

Kini aku merangkai kenangan-kenangan saat aku bertemu denganmu hingga kau pergi dariku. Dengarkanlah ceritaku sayang. Dengarkan dengan mata hatimu. Kumulai dari hati dan akan kuakhiri dari jiwa. Kurangkai dalam pikiran, tapi tak perlu terucap dalam kata. Cukup dengarkanlah kisah hatiku ini dalam sunyi dan senyap. Diam mematung di taman ini.

Kala itu kau menutup kelopak mataku saat aku duduk membaca buku Gymnospermae. Kebun raya Bedugul ini sangat cocok bagi tanaman berdaun jarum, ya apalagi kalau bukan cemara dari seluruh dunia. Aku senang mengabdi di konservasi ini sebagai seorang peneliti.

“I Made Rayana, ayo tebak siapa aku?”, ucapnya lembut kala itu yang datang secara mengejutkan dari belakang sambil menutup mataku dengan jemarinya.

“Eik ukh-ukh akh-ak-khaa: I Pu-tu Ca-ra-ka”. Hatiku senang sekali kala dia datang sambil menyelipkan bunga kamboja di sela-sela kuping kananku. Apa arti kata yang tak terucap jika dia dengan tulus menyayangiku yang gagu ini. Katanya aku wanita yang cerdas, manis dan baik hati. Duh, senangnya kata-kata manisnya. Saat semua orang acuh padaku, tapi dia datang menyelimuti hatiku.

“Yana, hari ini kau cantik sekali. Kau tahu, semalam aku menemukan banyak sekali tangkapan ikan. Rembulan berpendar indah mengobori langkahku saat melaut. Angin darat bertiup sepoi hingga memudahkan kapal kami mengarungi lautan. Pokoknya Yana, semalam indah sekali. Aku begitu semangat mengail, menjaring, dan menjala ikan. Sesekali kutatap rembulan malam, duh indah sekali Yana. Kau tahu kenapa indah? Karena wajahmu berpendar dalam bayangan rembulan. Aku tersenyum malam itu. Rindu sekali ingin bertemu denganmu, Yana. Baru aku sadari bahwa aku sangat mencintaimu”.

Aku terseyum menatap wajahnya yang polos, berbudi dan tampan. “Ekh-ahk-akh, akk-ukh ekh-ihk-akh ahk-ak-ukh? : Be-nar-kah, ka-mu me-li-hat wa-jah-ku?”. Aku menggerakkan jemari tanganku, mengucapkan bahasa isarat. Caraka tersenyum membelai lembut pipiku sambil menatapku penuh cinta.

“Benar Rayana, wajahmu ada di samping rembulan malam itu. Aku hanya mencintaimu seorang. Hanya kau yang bisa mengerti perasaanku. Kau adalah dewi Shintaku. Aku ingin menikahimu. Agar selamanya aku bisa bersamamu dalam menemani hari-hariku”.

Senangnya hatiku saat ia melamarku, aku sangat mencintainya. Tapi kalut hati ini jika aku menyadari kekurangan fisikku. Aku bisu. Oh, aku sampai menangis haru mendengar Caraka berkenan dengan tulus hati melamarku.

“Jangan menangis Rayana. Besarkan hatimu ya. Aku tak akan membiarkan rasa sedih hinggap di hatimu”. Caraka membasuh bulir air mataku, embun pagi menjadi saksi kata sakral yang ia ucapkan padaku.

Tiga kali aku mengangguk, satu kali menggeleng, dan akhirnya aku menunduk. Aku menggerakkan jemariku lagi sambil berkata, “Akh-ahk uhk akh-aks ukh-ukt ukh, akh-ukh ikh-hu : A-pa ku pan-tas un-tuk-mu, ak-u bi-su”.

“Cemara-camara Bedugul ini akan jadi saksinya, Yana. Mereka juga diam tanpa sepatah kata”. Jantungku berdetak bahagia sekali. Berdebar-debar rasanya, dan hanyut jiwa ini bersama pusaran cinta. “Biarpun kau bisu, jangan biarkan hatimu ikut membisu”.

Rintik hujan mengguyur, Caraka menggandeng tanganku. Kami berlari-lari kecil menghindari ribuan tetes air yang mulai berjatuhan dari langit. Di bawah rimbun pohon cemara ini tubuhku menggigil, gigiku gemelatuk, gemetar rasanya. Lebih hebat lagi gemetar hati ini karena cintanya. Caraka memelukku, tubuh yang aku rasakan kehangatannya, tubuh yang kucintai, aku merindu sekali pada tubuhnya. Demi sang pemilik maut, biarkanlah aku merasakan cintanya. Berharap bisa bersamanya hingga tubuh kami renta dan mati terkubur bumi.

Waktu berjalan mengikuti alur yang cepat. Dalam kebahagiaan rumah tangga bersamanya, aku merasakan hidupku sempurna, meski tanpa secuil kata. Caraka menjadi suami yang baik, dan selamanya akan terus baik. Hariku kulalui cukup sederhana. Aku selalu mempersiapkan bekal untuknya kala melaut.

Saat Caraka tak beranjak ke laut, biasanya kami menghabiskan waktu menikmati hamparan flora di taman Bedugul. Caraka membantuku mengidentifikasi pohon-pohon. Membantu merawat cagar-cagar budaya dan situs yang ada, dan kami sering bercerita tentang kisah Rama Shinta di bawah patungnya. Oh, hariku. Hari yang tak akan terlupa hingga menjadi kenangan abadi dalam pikiranku.

Sampai pada cerita kegetiran itu, tiba pada kenangan yang merobek hatiku, dan saat itu baru kusadari betapa pilu jiwa ini, hingga cintaku ikut membisu. Kebisuan yang di bawa mati, saat jasadnya hancur dalam kubur.

Tak ada tanda ataupun firasat yang hinggap padaku. Semua keseharianku kulalui dengan penuh kebahagiaan. Kala malam ia mengecup keningku mesra. Menatapku penuh cinta, membelai rambutku manja. Kusiapkan jala, pancing dan rantang makanan.

Satu kata terakhir yang masih terekam dalam pikiranku. “Rayana, kau siapkan apa untuk bekalku melaut?”. Aku memeluk pinggangnya dengan tangan kanan, sementara tangan kiriku memegang rantang. Kami berjalan keluar, kutatap wajahnya, itulah tatapanku yang terakhir. Tatapan penuh rindu, ranum dalam kebahagiaan.

“Ahk-ukh ukh-aht-ahn akh-uhk syakh-urhk ahk-ehm, ikh-ahn akh-ihn: A-ku bu-at-kan ka-mu sa-yur a-sem, ik-an a-sin”. Caraka melempar senyum. Kembali ia mengecupku. Tak di pungkiri lagi, karena itu adalah senyum dan kecupan yang terakhir darinya. Aku begitu rindu membayangkan senyumnya.

Langkahnya mantap menuju bibir pantai. Bersama kawan-kawan nelayannya, ia melambaikan tangan padaku. Tak aku sadari bahwa itu adalah lambaian perpisahan. Dari jauh aku melihat punggungnya yang kekar dan liat saat mendorong perahu ke jilatan air laut. Malam yang kelam, tiupan angin yang silir, tak aku sangka badai datang kala malam membahagiakan itu.

Hari berganti, malam pun pijar menjadi terang. Tidurku pulas, mimpiku indah dan pagiku cerah. Siang nanti Caraka pasti membawa kejutan untukku saat merapatkan perahunya ke darat. Sebagai istri, aku siapkan hidangan kesukaan suamiku. Rasanya tak sabar untuk menunggunya datang, tak sabar untuk menceritakan mimpiku semalam padanya. Aku mimpi bertemu dengannya. Wajahnya bersinar, tubuhnya tranparan, dan cahaya berpendar di sekitarnya. Benarkah Caraka-ku setampan ini? Di punggungnya ada sayap putih bersih. Ia memberi isarat sambil memegang pergelangan tanganku. Aku tahu maksudnya, ia ingin membawaku terbang ke bulan. Mimpi yang indah. Tak sabar rasanya ingin bercerita pada Caraka suamiku.

Siang itu aku menantinya, perasaanku girang bagai melayang. Hatiku terbang terbayang wajahnya. Kangennya hatiku ini, rindunya jiwa ini, hingga rasanya tak sabar lagi untuk segera menghambur dalam pelukannya, dalam wangi tubuhnya aku ingin ceritakan kisah mimpi indahku padanya.

Mentari kian terik. Aku menatap hamparan pantai, melihat kapal-kapal yang akan merapat, kesibukan para nelayan kian padat. Banyak ku dengar keluhan hari itu. Badai datang menghempas, tangkapan menyusut tajam, dan kerugian mulai nampak terlihat dalam wajah-wajah lusuh bercampur kecewa dari para nelayan. Masih kunantikan datangnya perahu Caraka, tapi hingga terik aku belum melihat tanda-tanda kedatangannya. Apakah ia berniat melaut selama beberapa hari? Kenapa? Harusnya ia memberitahuku jika akan melaut lebih dari sehari.

Cerita badai yang berdengung-dengung dalam pembicaraan para nelayan di pasar ikan cukup membuat hatiku bergejolak. Merinding bulu romaku, gemetar tubuhku, lunglai batinku. Kubayangkan ketakutan saat Caraka berlaga melawan badai yang menggulung gelombang. Pikiranku kalut. Hariku kian resah dan gelisah.

Dengan kebisuan mulut ini, kucoba untuk bertanya pada nelayan yang kiranya malam itu melaut. Apakah ada dari salah satu mereka yang melihat perahu Caraka. Mereka hanya menggeleng. Entah menggeleng karena tidak melihat atau gelengan itu karena tak mengerti ucapanku yang bisu. Ternyata bahasa isarat yang kupelajari tak dapat mereka mengerti. Komunikasi terputus, aku tak mendapat kabar secuil pun tentang suamiku. Hatiku secara perlahan di selimuti kegelapan.

Sampai pada malam ini pun aku masih menantikannya. Tidur tak lagi tenang, karena gelisah merongrong perasaanku. Semalam mataku tak bisa terpejam dari pembaringanku, ku usap bantal yang biasa menjadi sandaran tidurnya, kepeluk guling sambil membayangkan dirinya. Basah guling itu, basah bantal itu dan basah pembaringan itu. Aku tahu, aku hanya bisa menangis dalam kebisuan. Takut ditinggalkannya pergi. Dalam resah kutatap jendela kamar yang terhampar pantai dan pasar ikan. Aku masih menunggu. Ya, menunggu dalam rasa sedih yang mencekam hingga urat-urat nadi peredaran darahku. Darahku berdesir, jiwaku lingsir, hatiku pun terkilir.

Benar-benar galau dan risaunya dalam penantian ini. Apakah aku bisa melihat wajahnya besok pagi? Kalau bisa, aku akan memeluknya lama sekali. Erat dan tak terlepas dariku.

Pagi itu kudengar gemparnya wajah pantai. Ramai oleh penemuan-penemuan raga tak bernyawa. Terhempas dan terseret-seret oleh gulungan ombak. Riuh dan mencekam. Semua gelisah. Warga resah. Dalam samar dan silir aku mendengar isak tangis. Tangis pilu meratapi jiwa yang pergi.

Aku berlari dalam kerumunan orang yang membawa raga-raga itu ke pinggir pantai. Aku melihat banyak tubuh pucat membiru yang berjajar dalam ratap sedih tangis keluarga yang di tinggalkan. Aku masih mencari, ya mencari raga dari cintaku. Aku berharap Caraka berdiri memelukku, bukan aku yang memelukknya, seperti mereka yang di tinggal pergi dalam kematian. Kenyataan itu kian membesut cepat nyawaku dalam ketegangan, karena aku tahu aku harus memeluknya saat tubuh itu terkapar di atas pasir putih. Tubuh suamiku, kaku membatu.

Tangis? Jelas aku menangis. Sedih? Jelas aku bersedih. Histeris? Tidak! Aku tak menangis histeris. Aku wanita bisu, mana bisa aku bersuara dalam tangis. Tapi hatiku menjerit-jerit, seolah tak rela tubuh malaikat dalam mimpiku benar-benar pergi ke bulan dan membiarkanku terdampar sendiri di bumi. Caraka, sayang! Dengarkan suara hatiku, hanya dengan suara hati aku bisa bicara denganmu. Meski kita berbeda dimensi kehidupan, tapi perasaan ini benar-benar terikat padamu. Cintaku bicara meski dalam kebisuan.

Kepeluk ragamu yang membatu, ku kecup bibirmu yang membiru, sambil kubisikkan lirih ketelingamu, bukan dari mulut bisu ini, tapi bisikan kata hatiku: Cintaku ada meski dalam kebisuan, hatikulah yang berkata bukan lisan bisu ini.

Kini tubuhmu lebur dan menjadi satu dalam tanah kubur. Mulut ini masih membisu, sayang. Tapi hati ini terus melantukan kata-kata doa, semoga engkau yang disana selalu bisa mengingatku. Seperti aku yang di sini juga selalu mengingatmu dalam kebisuan cinta. Bisu tak berkata, bisu tak terucap, dan bisu tak bersuara.

`Dalam bisu ini, aku akan mendidik benih di rahimku, bukan dari suara lidahku, tapi dari suara hatiku. Anak kita. Ah! Caraka, andai kau bisa melihatnya saat ia lahir ke dunia, aku yakin dialah malaikat kecil yang hidup dalam kebisuan kasih sayangmu. Tapi akan hidup bersamaku, menemaniku, sampai usiaku udzur dan akhirnya jiwaku pun pergi menggapai jiwamu. Adakah cinta sejati dalam kebisuan ini? Hanya aku, karena dalam kebisuan aku mencintaimu.



Note:
dari catatan yang pernah kubaca entah dimana dan kapan #lupa

0 komentar:

Post a Comment

 

Tiada Tuhan Selain Tuhan © 2014 SINCE1999 of PHANTOM PLANET
DienarRobusta Template design by enterdie