Filename | Dunia di balik Awan |
Permission | DienarRobusta |
Author | enterdie |
Date and Time | Friday, June 07, 2013 |
Label | #sebuahcerpen| Dongeng |
Action |
Sesekali belanjaannya diturunkan dan ia benarkan rambutnya yang mulai melorot dari ikatan. Lalu kembali berjalan pulang. Matahari yang terik membuat perempuan itu sesekali mengusap kening, menyeka keringat yang mulai membasahi sedari tadi ia berjalan.
“Pagi de’ Sally…malem ini tugas lagi ngga ya kira-kira?”, seorang lelaki setengah baya menyapa ditengah perjalanannya.
“Emang kenapa oom? yang kemarin belum puas??…”, tantang perempuan itu sambil tersenyum genit. “Awas lho ntar kalau si Ibu sampai tahu”, goda perempuan itu berlanjut tanpa canggung.
“Ssst…asal sama-sama tahu saja kan beres”, jawab lelaki itu dengan sedikit mengerlingkan matanya.
*** ***
“Aku pulang bu….”, teriakan Jingga di ujung pintu depan.
Tidak seperti biasa sore itu mukanya kusut, kucel dan seperti memendam sesuatu. Tanpa basa-basi, ketika bertemu dengan perempuan itu, Jingga langsung memberikan sepucuk surat beramplop rapi warna coklat ke tangan perempuan itu, dan bergegas masuk ke kamar dan menguncinya rapat-rapat.
“Apa ini, nak??”, tanya tanya perempuan itu sedikit keras agar suaranya terdengar kedalam kamar.
“Baca saja sendiri…”, sahut Jingga dari dalam.
Dibukalah amplop itu dengan sekali sobek di ujungnya, dibukanya lipatan suratnya pelan-pelan agar tidak ada yang terlewat oleh matanya. Kiranya itu surat dari sekolah. Ketikan komputer rapih, dan berbagai macam tanda tangan serta cap cukup menjelaskan bahwa itu adalah surat sangat penting. Cukup panjang isinya, namun dipertengahan sudah dapat ditebak isi dari surat tersebut.
“Ndo…mbo yo koe metu ndisik, ibu sudah masak tadi siang. Ayo makan dulu….”, perempuan itu mengetuk beberapa kali lalu didekatkan kepalanya di pintu.
Selang beberapa menit terdengar suara kunci diputar, JIngga keluar dengan masih mengenakan seragam putih abu-abunya, wajah sedikit tertunduk cemberut, juga mata yang memerah – sepertinya tadi ia menahan tangisnya – langkahnya diseret malas, lalu bersandar di pinggir batas pintu kamarnya .
“Kapan kamu terima ini?”
“Tadi sepulang sekolah Jingga dipanggil ke ruang kepala sekolah, trus Pak kepala sekolah kasih itu”.
“Terus?”, tanya perempuan itu lagi.
“Terus..terus..emang lagi parkir mobil..??”, jawabannya terdengar setengah ketus dengan kepala yang masih tertunduk kebawah.
“Iki bener wis telung wulan tho?”, seperti yang tertulis disana, bahwa tenyata sudah 3 bulan uang sekolah belum terbayarkan.
Tanpa menggubris perempuan itu Jingga berpindah tempat, duduk di samping meja makan yang letaknya tak jauh dari pintu kamarnya.
“Kalau masalahnya cuma tentang pelunasan uang sekolahmu, kan memang begini keadaannya. Toh uang-uang sekolahmu selalu bisa ibu lunasi walaupun selalu telat beberapa bulan. Kita bukan orang kaya, ndo…ibu pikir kita juga sudah sering begini tho? kenapa kamu jadi tiba-tiba harus bersikap seperti ini…”, kata perempuan itu sambil menghampirinya setelah terdengar mulai terisak.
“Kita memang bukan orang kaya, Bu... kita juga mungkin orang yang kehidupannya jauh dari sempurna…tapi…”, kata-katanya ditahan.
“Tapi kenapa??”, dibelainya rambut panjang itu pelan.
Jingga mendongakkan wajahnya menghadap perempuan itu, menatap dalam beberapa saat. Beberapa saat sebelum akhirnya air matanya deras menetes membasahi pipinya.
“Kemana ibu tadi malam? Pergi dengan Pak Herman lagi ya? Kulihat ibu diantarkan pulang olehnya tadi pagi”
“Ya biasalah ndo, oom Herman…kamu tahulah kerjaan ibumu ini. Semua kan juga demi kamu…”, jawabku dengan sedikit senyum yang kubuat sewajar mungkin.
“Ibu tahu?? Aku sudah lelah dengan sikap ibu yang seakan tidak perduli, bu. Sikap ibu yang seakan tidak perduli dengan apa yang ibu kerjakan setiap malam. Aku juga sudah lelah untuk selalu mendengar apa yang selalu di katakan tetangga tiap subuh ketika melihat ibu pulang. Bisakah ibu mencari pekerjaan lain yang lebih layak??”, tambahnya sambil berlalu ke meja makan dan duduk disampingnya.
“Ndo..mbo ya tenang sebentar..”, kataku lembut.
“Ibu tahu pekerjaan yang selama ini ibu lakukan salah. Tapi ndo…inikan semua juga demi untuk kita, untuk kamu, anak ibu yang ibu cintai”, lanjutku. “dan lagi, pilihan apa yang kita punya??”, kudekati dirinya dan meraih pundaknya.
“Ibu tahu apa yang tadi dikatakan pak kepala sekolah ketika menyerahkan surat ini?”, potongnya cepat setelah berdiri dan mengambil surat itu dari tanganku, kemudian mengarahkannya tepat kehadapanku.
“Dia bilang…jika memang tidak mampu membayar tepat waktu…ibu boleh datang setiap malam kerumahnya dan semua biaya sekolahku akan dibebaskan olehnya”, suaranya mulai parau dan tersendat dengan ingus yang mulai mengalir dari hidung mancungnya.
“Memangnya kita ini apa, bu??”
Aku hanya terdiam dan sesekali mengusap air matanya yang tak henti-hentinya menetes.
“Bu…kita bukan barang, kita juga bukan binatang, kita ini manusia. Dan setiap manusia selalu punya pilihan dalam hidupnya. Aku akan lebih rela untuk tidak bersekolah atau hidup kelaparan daripada harus melihat ibu, dan hidup kita yang terus direndahkan seperti ini, bu”, sambungnya lagi dengan muka yang seakan memelas lalu setelah itu menepis tanganku dan berlari kembali masuk ke kamar sambil menangis, benar-benar menangis.
Saat itu aku hanya terdiam, tak ada yang bisa kulakukan. Kakiku terlalu lemah untuk menopang hatiku yang sakit melihat Rona menangis tadi, mataku mulai memerah namun tak setitik air matapun keluar dari mataku. Aku terlalu takut untuk menangis saat itu. Tuhan, Bantu aku…
*** ***
Malam itu tidak berbeda seperti malam-malam lainnya. Seorang perempuan punya janji melayani.
Didepan meja rias kamarnya, dipakai gincunya tebal-tebal. Di poles pemerah pipi tipis namun tegas agar kecantikannya semakin mempesona.
Walau saat itu waktu sudah menunjukan pukul 12 malam. Hatinya tak gentar. Yang mungkin dipikirkannya saat itu adalah malam akan berbeda, bahwa malam itu akan menjadi malam yang panjang untuknya saat ini.
*** ***
Aku memang mungkin tidak layak berjalan dimuka bumi ini. Tubuhku telah kotor, sangat kotor dengan liur juga dengan beribu-ribu cumbu. Telah basah dengan rayuan lidah pria-pria berotak ngeres. Bahkan mungkin jika bisa, kemaluanku sudah seharusnya kucopot dan kuletakan lantas menanggalkan predikatku sebagai seorang perempuan.
Satu-satunya hal yang membuatku bertahan karena aku punya kamu. Buah hatiku yang berharga, penyemangat hidupku, pengganti nafasku ketika mulai terengah pada hujaman ke sepuluh dari laki-laki ketujuh. Tak kah kau mengerti…
Bulan purnama semakin mengawang di angkasa. Hari ini adalah pas sebulan Rona tidak pernah menegurku lagi. Mungkin hatinya terlanjur sakit. Maafkan ibu, nak. Sepertinya ibu mulai mengerti, kau memang benar… manusia selalu punya pilihan.
Ku ambil catatan kecil di saku belakangku, tabungan kita sepertinya sudah lumayan. Dua bulanan lagi uang yang terkumpul akan cukup untuk membuka warung kecil didepan rumah kita. Dan setelah itu, ibu janji tidak akan ada malam-malam lainnya kau tertidur tanpa ibu disampingmu.
Malam itu daerah Pasar Kembang tidak seperti biasanya. Gemerlap lampunya begitu meriah. Banyak tawa terdengar di setiap gang. Kiranya malam minggu ini akan banyak yang datang, mengingat akhir pekan ini adalah awal dari liburan panjang.
Aku tengah bersender di tiang gapura gang, Gang masuk menuju ke rumah – atau lebih tepatnya tempat – dimana aku memuaskan keinginan pria-pria mesum setiap malam.
Beberapa kali colekan pemuda mengagetkanku. Ada juga yang sekedar menggoda atau cari-cari kesempatan menikmati kulit halusku, lalu berlalu usai memberikan kecupan di pipi.
“Aduuuh…jangan cuma berani ngesun dong….”, teriakku dengan nada yang kubuat seperti kesal namun tetap terdengar menggoda. Cukup menggemaskan bagi setiap pria yang mendengarnya.
Tak sadar malam semakin larut dan gelap semakin pekat dibalik lamunanku. Menyadari itu, segera saja kumatikan rokokku dan beranjak.
Kulihat pertokoan sudah tutup. Tak ada cahaya lain selain lampu pinggir jalan yang menerangi jalan Malioboro malam itu. Dipinggirannya tampak tempat makan gudeg yang mulai digelar kelasanya, menggantikan pedagang pakaian yang telah sepanjang siang berjejer mewarnai jalan.
Terakhir tadi sudah yang ke tujuh. Sepertinya yang berikutnya akan jadi yang terakhir malam ini. Aku terlalu lelah untuk begadang dengan malam hingga fajar datang. Usia kepala tiga ini membuat badanku sering menggigil hingga ketulang-tulang. Lagipula sudah mulai kurasakan dua bongkah daging di dadaku juga semakin membeku terkena udara malam ini, batinku
Langkahku terus terayun seiring hawa yang semakin dingin disekelilingku. Lambat laun semakin menusuk…dingin…aneh, ini terlalu dingin, ada apa ini??
*** ***
Malam itu memang tidak berbeda seperti malam-malam sebelumnya. Mungkin tidak dengan riasannya, atau mungkin dengan pakaian yang sering digunakannya. Tapi tas besar yang dibawanya hari itu, membuat semuanya tampak sangat berbeda.
Tergopoh-gopoh membawa tas yang besar, perempuan itu berjalan menyusuri gang gelap. Menuju jalan raya di ujung gang tempat dimana ia biasa menghentikan angkutan umum saat akan pergi ke kota. Kemudian tanggap mengayunkan tangannya ketika di lihat sebuah taksi akan melintas.
Tidak…jangan ragu lagi…jangan lagi, hatinya terus memantapkan tekadnya malam itu.
1 jam kemudian sampailah wanita itu di depan sebuah penginapan. Penginapan kelas melati. Sedikit menyeramkan dengan bangunan tuanya, tapi kiranya cukup bersih untuk penginapan sekelas lainnya. Ayo..masuk…, lagi-lagi langkahnya dimantapkan.
206, tiga angka terpampang dihadapannya.
Tok…tok…tok…, diketuknya pintu itu dengan lembut. Lalu setelah semenit berselang dibukalah pintu itu oleh pria gagah setengah baya berkulit putih bersih – hanya dengan lilitan handuk dipinggangnya. Tersenyum dan mempersilahkannya masuk.
“Mau langsung sekarang?? atau mau ganti pakaian dulu? sepertinya pakaian kamu sedikit aneh untuk perempuan seperti kamu”, Tanya pria itu setelah merebahkan tubuhnya yang gempal ke atas kasur.
“Saya ganti baju saja dulu ya, oom…nanti setelah itu baru kita mulai”, jawab wanita itu dengan canggung, lalu segera berbalik dan menuju ke dalam kamar mandi dibelakangnya. “eh…sebentar, kita belum kenalan. Siapa namamu dik?”, Tanya pria itu sebelum wanita itu masuk.
“Lintang oom….Rona Lintang Aurora”, jawabnya singkat lalu menghilang masuk ke dalam kamar mandi.
Tertegun didepan cermin westafel, perempuan ayu itu membisu. Ibu… maafkan Rona ya, bu. Semua pada akhirnya harus seperti ini. Tak ada cara lain, bu. Sejak malam ditemukannya ibu pingsan di pinggiran Malioboro, penyakit bronchitis ibu semakin menjadi-jadi. Ditambah flu tulang yang ternyata telah diderita ibu sejak lama.
Keheningan semakin menusuk dan tak sadar pipinya telah dibanjiri air mata, Uang yang ibu kumpulkan juga sudah habis untuk biaya perawatan ibu selama dirawat di Rumah Sakit. Jadi sekolah juga terpaksa ku hentikan dulu bu…sampai nanti ibu sembuh.
“DIK!! Kok lama sekali??”, sahutan dari luar kamar mandi mengagetkan lamunannya. “iya oom…sebentar…”, jawabnya cepat sambil mengusap air mata.
Selang beberapa menit keluar lah ia. Keluarlah seorang Rona yang berbeda. Begitu berbeda dengan pakaian dalam hitamnya yang transparan.
“Wah dik…ternyata seksi sekali kamu…mari sini…”, panggil si pria sambil mengusap-usap dadanya yang dipenuhi rambut dan menunjukan muka tidak sabar.
Ya..memang inilah kita, bu. Aku, kamu dan dunia kita. Tak banyak yang dapat kita perbuat saat ini, Rona perlahan membawa tubuhnya naik keatas kasur.
Tapi pasti, bu. Bila tidak mungkin esok atau lusa, entah kapanpun itu, aku akan membuat pilihan seperti pilihan yang telah kau ambil malam itu. PASTI. Itu pasti, karena kita masih manusia.
#sebuah cerpen 4 tahun lalu
#sebuah cerpen 4 tahun lalu
0 komentar:
Post a Comment